Manusiaberdarah campuran. Suka banget kentang, hujan, musik instrumental, dan fotografi. Suka juga baca novel meski disakiti berkali-kali sama ceritanya, Semua resensi di blogku murni subjektif ya. Karena aku menikmati, bukan meneliti. Tapi, aku mencoba sebisaku. Segitu aja, nanti kepanjangan.
Sinopsis Novel Sosok Sarwono adalah dosen muda yang mengajar Antropolog yang lihai dalam membuat baitan puisi memenuhi sudut surat kabar ini menjalin hubungan dengan Pingkan, Pingkan sendiri merupakan dosen muda di prodi Jepang. Pada dasarnya mereka sudah kenal sejak lama, apalagi Sarwono sendiri adalah teman dari kakak Pingkan, Toar. Mereka pun bingung sampai kapan hubungan ini dapat berlanjut ke pernikahan. Sebuah prosesi yang membutuhkan pemikiran dan tahap lebih dewasa. Sementara pada saat ini, mereka masih asyik dengan status pacaran sekarang. Ada banyak likuan hidup yang dihadapi Sarwono dengan Pingkan. Terlebih mereka adalah sosok yang berbeda dari kota, budaya, suku, bahkan agama. Sarwono yang dari kecil hidup di Solo, sudah pasti orang Jawa. Sedangkan Pingkan adalah campuran antara Jawa dengan Menado. Ibu Pingkan adalah keturunan Jawa yang lahir di Makassar, sedangkan bapakPingkan berasal dari Menado. Di sini mereka berdua tidak mempersoalkan apa itu suku beda, atapunkeyakin yang berbeda. Ya Sarwono yang sangat taat pada agamanya Islam, dan sosok Pingkan yang juga meyakini agama Kristen sepenuh hati. Permasalahan tentang agama ini dicuatkan oleh keluarga besar Pingkan yang di Menado. Dengan berbagai cara mereka selalu bertanya pada Pingkan tentang hubungannya dengan Sarwono. Pertanyaan yang terlihat berniat menyudutkan, berharap Pingkan tidak melanjutkan hubungan dengan Sarwono. Harapan keluarga besarnya adalah dia menikahi sosok dosen muda yang pernah kuliah di Jepang dan sekarang mengajar di Manado. Sosok pemuda yang dari dulu juga menaksir Pingkan. Namun dengan berbagai upaya, Pingkan tetap bersikukuh mempertahankan hubungan itu dengan dia berencana kalau menikah akan meninggalkan Menado dan tinggal selamanya di Jakarta. Tempat dia berkerja sebagai dosen. Hubungan asmara Pingkan dan Sarwono ini tidak hanya mendapatkan aral dari keluarga besar Pingkan saja. Ketika Pingkan berhasil mendapatkan beasiswa ke Jepang, Sarwono merasa kehilangan dan ketakutan. Ketakutannya bukan dari keraguannya atas cinta Pingkan, namun lebih pada kehidupan dan orang yang ada di Jepang. Yah, di Jepang ada sosok sontoloyo Katsuo. Katsuo sendiri adalah dosen Jepang yang pernah kuliah di UI, tempat Sarwono dan Pingkan mengajar sekarang. Dan selama di Indonesia, Katsuo sangat dekat dengan Pingkan. Tidak hanya alur tentang bagaimana Sarwono menahan diri dan meyakinkan dirinya sendiri kalau Pingkan tetap setia padanya. Di sini juga ada cerita bagaimana Sarwono harus kuat melawan batuk yang tidak berkesudahan. Batuk yang pada akhirnya membuat dia harus terkapar di pembaringan Rumah Sakit. Ada juga kisah tentang arti dari penamaan Pingkan, ya nama Pingkan diambil dari sebuah cerita yang sudah melegenda di Menado. Kelebihan dan Kekurangan Novel Kelebihan Novel Cover dari novel ini sangat menarik dengan efek tulisan yang basah karena terkena tetesan air hujan. Gaya bahasa yang digunakan penulis kurang bisa dipahami secara langsung. Ditambah lagi akhir cerita yang masih menggantung. Karena dalam novel tersebut tidak ada kejelasan bagaimana rencana pernikahan Sarwono dan Pingkan atau paling tidak akhir dari hubungan mereka dan keluarga besar Pingkan. Kekurangan Novel Menambah pengetahuan pembaca mengenai kebudayaan Minahasa dan Solo melalui tokoh Pingkan dan Sarwono. Ditambah lagi sedikit informasi mengenai kehidupan dan hiruk pikuk yang terjadi diseputaran sebuah universitas. Ide yang Ingin Disampaikan oleh Pengarang Ide yang ingin disampaikan pengarang adalah toleransi antar umat beragama, toleransi budaya dan suku, serta kesetiaan cinta sepasang kekasih. Majas dan Pencitraan Novel Majas 1. Majas Asosiasi Pada kalimat “Ia suka sakura yang hanya mekar seminggu di awal musim semi, dan langsung gugur bagaikan ronin yang dipenggal kepalanya oleh samurai yang dikhianatinya.” bab 2 halaman 12 Penjelasan Kalimat tersebut memiliki majas perbandingan yang ditandai dengan kata “bagaikan”. 2. Majas Hiperbola Pada kalimat “Cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala” bab 2 halaman 45 Penjelasan Memiliki makna berlebihan yang artinya pagi hari. Pada Kalimat “Pingkan merasa lepas dari tubuhnya” bab 2 halaman 33 Penjelasan Memiliki makna berlebihan yang artinya merasa kelelahan. 3. Majas Satire Pada kalimat “Kuping Jawa itu yang suka ngeloyor ke sana kemari dan kalau nyanyi tidak jelas itu macapat atau sonata” bab 2 halaman 33 Penjelasan Memiliki maksud untuk mengecam atau menertawakan 4. Majas Metonimia Pada kalimat “Musashi yang suka minum Coca-Cola” bab 2 halaman 52 Penjelasan Memakai merk “Coca-cola” untuk menggantikan pengucapan minuman bersoda Pada kalimat “Garuda yang langsung dari Menado mendarat agak terlambat.” bab 2 halaman 67 Penjelasan Memakai atribut “Garuda” untuk menggantikan pengucapan maskapai pesawat Garuda Indonesia. 5. Majas Personifikasi Pada kalimat “Terdengar lengkingan suara penyanyi dan jerit gitar elektrik yang menjadi ciri band itu” bab 2 halaman 47 Penjelasan Mengungkapkan bahwa gitar seolah-olah dapat menjerit seperti manusia. Pencitraan 1. Penglihatan Pada kalimat “Liat itu yang duduk di sudut” bab 2 halaman 13 Pada kalimat “Di jalan pulang dilihatnya beberapa anak dengan seragam merah-putih berjalan setengah menari setengah menyanyi” bab 2 halaman 87 Pada kalimat “Rombongan Menado itu hampir serentak menoleh kepada mereka” bab 2 halaman 73 2. Pendengaran Pada kalimat “Hujan, bisiknya entah pada siapa” bab 1 halaman 2 Pada kalimat “Terdengar lengkingan suara penyanyi dan jerit gitar elektrik yang menjadi ciri band itu” bab 2 halaman 47 Pada kalimat “Sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap” bab 2 halaman 44 3. Penciuman Pada kalimat “Tanpa aroma tanpa warna” bab 2 halaman 44 BAB III PENUTUP Kesimpulan Novel karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Hujan Bulan Juni” diterbitkan pada bulan Juni tahun 2015. Novel inimemiliki nilai-nilai moral yang sangat terasa, mengajarkan untuk saling toleransi terhadap perbedaan agama, budaya, suku, serta kesetiaan cinta sepasang kekasih. Tulisannya membuat pikiran pembaca melayang-layang seperti seorang penyair yang pandai memuji, namun kerap kali terlihat rapuh dan mudah meneteskan air mata. Pergolakan hati yang terus bertanya bisa tetap meyakinkan diri dalam satu hubungan, kalau kenyataan yang dihadapi harus saling berjauhan. Alur ceritanya sulit ditebak dan membuat kita terhanyut dalam alurnya ketika sedang membacanya. Saya merekomendasikan novel ini untuk dibaca dan dimiliki, sebuah novel yang cara penulisannya berbeda serta dipenuhi syair di setiap kalimatnya. Sumber

Ketikadatang bulan Juni, hujan yang sudah memiliki ikatan kuat dengan seluruh isi bumi, harus mengalah dengan keadaan, karena waktu belum mengizinkan untuk bertemu. (Resensi Novel Anak Rantau) December 21, 2020. PASANG IKLAN HALAMAN FACEBOOK GALERI INSTAGRAM RUBRIK PILIHAN AGAMA AL-QURAN BEASISWA BUKU CATATAN CERPEN

Ilustrasi Cover buku Hujan Bulan Juni, karya Sapardi Djoko Darmono. istimewaNovel Hujan Bulan Juni, merupakan sebuah buku karangan Sapardi Djoko Damono, yang telah terbit tahun 2015 oleh penerbit Gramedia Pusaka Utama, serta telah dicetak ulang beberapa Hujan Bulan Juni berisi tentang kisah percintaan Sarwono dan Pingkan, berisi manis pahitnya hubungan keduanya. Novel ini juga telah diadaptasi menjadi sebuah film pada tahun 2017 dengan judul yang Djoko Damono merupakan seorang sastrawan Indonesia yang sangat terkenal dan menjadi guru besar pensiunan Universitas Indonesia sejak 2005 dan guru besar tetap pada Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta 2009.Dalam novel ini kita akan menemukan kata “hujan” yang pastinya akan mengingatan kita dengan sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”.Puisi ini sering kali kita temui dalam kutipan-kutipan cerita ataupun ungkapan kata-kata yang melambangkan sebuah keromantisan untuk puisi ini sebagai berikutAku ingin mencintaimu dengan sederhana,dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya ingin mencintaimu dengan sederhana,dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya buku Hujan Bulan Juni, karya Sapardi Djoko Darmono. istimewaSederhana namun puisi ini memiliki kesan yang mendalam dan indah untuk dipahami maknanya. Dari kutipan puisi ini kita pasti akan mengingat tentang novel Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan cinta antara Sarwono dan Pingkan yang terhalang berbagai macam hal, seperti perbedaan agama, suku, pertentangan dari keluarga, dan hubungan jarak Hujan Bulan Juni ini mengisahkan tentang Sarwono yang merupakan orang Jawa asli yang sekarang bekerja menjadi salah satu dosen Antropolog di Universitas Indonesia, sedangkan Pingkan adalah keturunan campuran Jawa dengan Manado yang juga seorang dosen Sastra Jepang di Universitas awal novel ini berkisah dari Sarwono yang pertama kali menganal Pingkan karena Pingkan adalah adik dari temannya yang bernama Toar. Sarwono dan Toar sudah berteman sejak SMP saat di rintangan yang harus dihadapi oleh mereka karena adanya beberapa perbedaan, namun pembawaan dalam ceritanya terkesan santai dengan cerita-cerita percakapan yang ringan yang membuat hubungan antara Sarwono dan Pinkan menjadi terasa pertama muncul saat Sarwono dan Pingkan mendapatkan kabar bahwa Pingkan harus pergi ke Jepang melanjutkan studinya. Ia dikirim dari kampusnya dan mengikuti perintah dari sini Sarwono merasa sedih karena harus berpisah dengan Pingkan dengan jarak yang jauh dan waktu yang lama. Begitu pula yang dirasakan oleh Pingkan yang merasa sedih. Namun mau bagaimanapun itu tidak bisa dihindari, dan Pingkan harus pergi ke dalam hatinya merasa jengkel karena Pingkan harus ke Jepang dan bertemu dengan Katsuo yang sebelumnya pernah studi di Indonesia, yang menjadi mahasiwa yang begitu populer di kalangannya, dan Pingkan juga dekat dengan Katsuo. Semakin jengkel Sarwono karena tau bahwa Katsuo juga akan bekerja sama dengan Pingkan saat di Jepang, karena Katsuo juga seorang dosen di kedua muncul saat Sarwono berkunjung ke rumah Bibi Henny, tantenya Pingkan. Dalam permasalahan selanjutnya ini menjadi semakin rumit karena dari keluarga Pingkan tidak setuju dengan Pingkan yang memilih Sarwono untuk menjadi Pingkan juga mendesak Pingkan untuk mau dijodohkan dengan dosen muda yang telah kenal dengannya di Manado, yaitu Tumbelaka. Namun Pingkan tetap menolak saran dari Bibi Henny di sini keluarga Pingkan tidak menyetujui hubungannya dengan Sarwono karena perbedaan agama dan suku. Mereka tidak mau Pigkan seperti bapak dan ibunya yang juga orang Manado mendapat jodoh orang Jawa, dan berharap supaya Pingkan tinggal di Manado saja, bukan kembali ke Jakarta atau Solo ikut dengan Pingkan yang seharusnya masih beberapa bulan lagi ternyata diajukan untuk segera berangkat ke Jepang, yang membuat Sarwono mau tak mau harus melepaskan Pingkan pergi darinya. Namun sebelum keberangkatan Pingkan, Sarwono telah diminta untuk bertemu dangan ibunya Pingkan dan membicarakan tentang keseriusan Sarwono untuk menikahi Pingkan. Tidak disangka Ibunya Pingkan merestui hubungan mereka, walau keluarga yang lain tidak beberapa waktu berlalu, sejak jarak memisahkan mereka antara Indonesia dengan Jepang, Sarwono sebenarnya sekarang sedang tidak baik-baik saja, karena akhir-akhir ini dia merasa tidak sehat dan masih harus bertahan dengan kerinduannya kepada Pingkan yang belum ketika, Pingkan telah pulang ke Indonesia dan ingin segera bertemu dengan Sarwono, namun Pingkan mendapat kabar buruk tentang kondisi Sarwono yang sedang kritis dan dirawat di rumah sakit di Solo karena sakit paru-paru langsung pergi ke Solo untuk menemui Sarwono, namun sesampainya di sana Pingkan tidak dapat bertemu dengan Sarwono, dan hanya dapat bertemu dengan ibunya bertemu dengan ibunya Sarwono, Pingkan diberi sebuah koran titipan dari Sarwono kepada ibunya. Dalam Koran itu tertulis tiga sajak puisi karya Sarwono yang telah novel Hujan Bulan Juni ini memiliki desain sampul atau cover yang sangat keren, dengan tulisan yang diberi efek luntur seperti terkena air ini juga memiliki cerita yang tidak mudah ditebak, namun dalam novel cerita yang ada, masih memiliki akhir yang tanggung dan akan dilanjutkan dalam novel selanjutnya yang berjudul Pingkan Melipat Jarak. */kikJudul Buku Hujan Bulan JuniPenulis Sapardi Djoko DarmonoPenerbit Utama Gramedia Pustaka UtamaDeskripsi Fisik Tebal 138 halamanPenulis Resensi Puguh Prianggoro SPd Penulis adalah Guru Pegiat Kampung Ilmu Bojonegoro.
resensinovel tentang kamu tere liye depok pos, pdf download novel tere liye hujan gratis, biografi dan foto tere liye update 2020 biografi orang, 11 karya tere liye yang akan selalu membekas di ingatan, 10 rekomendasi novel tere liye terbaik yang harus kamu baca, tere liye is back ini novel terbaru yang akan rilis juni, resensi novel pulang Ditulis oleh Ridea Nataria di untuk program ResensiPilihan di Twitter bukugpu Hujan Bulan Juni adalah buku pertama dari trilogi “Hujan Bulan Juni” yang terinspirasi dari buku kumpulan sajak dengan judul yang sama karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013 silam. Novel ini mengisahkan tentang “hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.”Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya puisi yang mungkin terdengar tak asing tersebut adalah bagian dari sajak “Aku Ingin” dalam kumpulan sajak Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. 21 tahun berselang sejak salah satu karya paling romantis itu, lahirlah sebuah novel berjudul sama. Satu akar, lain pohon. Itu mungkin perumpamaan yang tepat untuk novel ini, terutama jika menimbang judul dan sampulnya yang penyair sekaligus pengarangnya sendiri, lebih suka menyebutnya sebagai proses perpindahan bentuk yang kreatif. Yang terpenting, beliau juga menegaskan masing-masing sebagai karya yang berdiri sendiri. Faktanya, keduanya memiliki keistimewaan berbeda meski membawa pesan yang sama, yakni cinta yang habis-habisan tapi tidak egois. Cinta yang berusaha memberi dan menyokong, bukan menuntut dan kumpulan sajaknya kerap dipandang kental dengan persoalan sentimental, novel Hujan Bulan Juni mengemas aliran emosi bernama cinta menjadi lebih lugas dan nyata. Larik-larik puisi yang menggetarkan hati itu diramu kembali dalam wujud tali kasih dua anak manusia yang terhalang jarak, suku, dan adalah seorang antropolog, Jawa, dan muslim. Pingkan adalah seorang Jawa-Menado dan penganut Katolik yang menekuni bahasa Jepang. Keduanya saling mengasihi dan mendukung. Kadang dengan ungkapan paling sederhana, lain waktu dengan perasaan yang tumpah ruah. Namun rupanya hubungan itu tidak selalu berjalan mulus. Perbedaan latar belakang suku dan agama antara keduanya yang mulai memicu pertentangan keluarga mereka menjadi akar kebimbangan yang menghinggapi hati kedua sejoli tersebut. Masalah pun semakin pelik ketika tiba saatnya mereka dipisahkan jarak karena Pingkan memperoleh kesempatan belajar di luar dari sekedar kisah romansa kebanyakan, Hujan Bulan Juni secara tidak langsung turut menyoroti dan mengkritik isu diskriminasi dalam masyarakat yang bersumber dari perbedaan suku dan agama. Dalam hal ini, novel tersebut menggarisbawahi tentang stigma kesukuan dan keagamaan yang masih begitu kuat di tengah masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Konflik yang tersirat antara kedua keluarga dalam cerita seolah menegaskan penolakan terhadap kawin campur antara pihak yang berlainan suku dan keyakinan. Sebaliknya, Sapardi mencoba mengajak para pembacanya menyikapi topik serius itu dengan nalar dan kepala dingin, sebagaimana ditunjukkan BatinTerlepas dari segala ekspektasi yang membebaninya, novel Hujan Bulan Juni melenggang di panggung sastra dengan caranya sendiri. Salah satu karakteristik yang membuatnya tampil berbeda dari mayoritas novel kontemporer saat ini adalah penggunaan gaya narasi monolog yang kurang akrab, monolog batin yang juga dikenal sebagai stream of consciousness atau interior monologue merupakan teknik/gaya menulis yang mengusung konsep arus kesadaran di mana para tokoh digambarkan mengungkapkan pikiran dan perasaannya seakan-akan sedang bicara pada dirinya sendiri. Teknik ini mulai dipakai sejak akhir abad ke-19 di antara kalangan sastrawan modern Amerika seperti Henry James, James Joyce, William Faulkner, dan Virginia Woolf. Di tanah air sendiri, salah satu pengarang yang lekat dengan aliran tersebut adalah Putu umum, penggunaan monolog batin dalam sebuah karya sastra mendorong pembaca untuk terus terlibat dalam teks, dan oleh karena itu dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam sekaligus realistis. Melalui kalimat-kalimat panjang, pengarang justru melipat baca memperkecil jarak antara pembacanya dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Di samping itu, monolog batin juga memungkinkan adanya pemahaman yang lebih komprehensif terhadap tokoh, kejadian, dan gagasan dalam suatu cerita, bahkan latar belakang sebuah karya kasus Hujan Bulan Juni, monolog batin yang merangkai keseluruhan cerita bukan semata dimaksudkan untuk menggelitik rasa ingin tahu. Lebih dari itu, monolog batin menjadi alat sang sastrawan untuk tujuan yang serius seperti menyisipkan kritik kondisi sosial hingga yang dianggap sepele seperti memperkuat satu contoh penggunaan monolog batin yang dianggap paling tidak lumrah’ dalam novel ini adalah untuk menggambarkan pikiran dan perasaan yang terus mengalir. Dalam hal ini, sang pengarang ingin pembacanya menikmati imaji dan persepsi dengan seleluasa mungkin. Oleh karena itu, tidak dijumpai tanda baca di antara kalimatnya seperti yang tampak pada halaman 44-45 buku kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang yang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apa pun…bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya-jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap…Dengan deskripsi yang terkesan acak dan tak beraturan tersebut, Sapardi justru memperkaya definisi kasih sayang dan memberinya bentuk’. Kasih sayang bukan lagi hanya rasa melainkan menjelma sebagai hal yang dapat dilihat, disentuh, didengar bahkan memiliki dimensi dan dapat bergerak. Kasih sayang menjadi sebuah pengalaman naratif yang anonim namun pada saat yang sama, kolektif. Sayangnya, tidak sedikit pembaca yang memandang janggal penggunaan monolog batin seperti ini. Mereka umumnya mudah kehilangan fokus dan perhatian di antara barisan kalimat yang seperti tak berujung sisi lain, Sapardi juga banyak memposisikan monolog batin sebagai medium untuk mengungkapkan watak para tokohnya secara tidak langsung. Gaya monolog yang dipakai tampak cukup bervariasi antar satu tokoh dengan lainnya. Pergumulan pikiran Sarwono, sang tokoh utama, misalnya selalu cenderung jenaka dan itu medium, dan medium itu dukun, bisiknya berulang kali kepada dirinya sendiri sambil batuk kecil, tanpa curiga bahwa ada orang yang menoleh padanya mendengar suara bisikannya dan mungkin menganggap isi otaknya kurang seperempat. Hujan Bulan Juni, Hal. 4Dalam pemahaman yang serupa, monolog batin juga dimanfaatkan untuk menyiratkan isu sosial yang serius. Melalui opini spontan nan santai yang dilontarkan tokoh Sarwono seputar perbedaan suku dan status, SDD dengan piawai menyampaikan kritiknya terhadap konstruksi sosial yang terbentuk di tengah masyarakat tanah air. Meski tidak menyuarakan kritik sosial politiknya dengan lantang seperti sejumlah karya kontemporer lainnya, toh pada akhirnya novel ini tetap berhasil mempertahankan esensinya untuk membawa isu diskriminasi ke pernah bilang dari mana pun asal usul Ibu terserah, bukan masalah, asal tidak dari Neraka.” Toar diam sejenak menahan tawa. Tampaknya. Sarwono berpikir, ternyata yang bisa melucu bukan hanya orang Jawa yang namanya Basiyo. Orang Menado juga bisa. Ia yakin, selama masih bisa melucu orang berhak menjadi anggota masyarakat terhormat yang disebut intelektual – gerombolan orang cerdas. Hujan Bulan Juni, Hal. 18Terakhir, monolog batin juga berperan sebagai benang merah yang merangkai keseluruhan cerita Hujan Bulan Juni. Kendati tampaknya tidak saling terkait, semua narasi dan obrolan acak yang menghiasi monolog dan dialog para tokohnya membawa satu pesan yang sama yakni kasih sayang. Persoalan Jawa, Manado, liyan, legenda Pingkan dan Matindas, Jakarta hingga ronin dan sakura nyatanya hanya sekelumit subyek yang dipakai untuk menegaskan cinta yang habis-habisan’ antara kedua tokoh utama. Bahkan perkara sikap cengeng dan zadul Sarwono, adalah pernyataan tegas dan gamblang Pingkan yang mencintainya secara utuh termasuk kekurangannya’.Kamu ini cengeng, Sar, jualan gombal.” komentar Pingkan ketika pertama kali membaca sajak itu di sebuah majalah yang dipamerkan Sarwono. Tidak ada, rasanya, ucapan yang lebih disyukurinya. Ia suka dianggap cengeng hanya kalau yang mengucapkannya Pingkan, sebab ya memang cengeng-mau apa lagi. Hujan Bulan Juni, Hal. 11Novel Hujan Bulan Juni bukanlah tentang hujan, apalagi bulan Juni. Sebaliknya, novel ini merupakan penerjemahan puisinya yang termashyur. Rekaman wujud dan imaji kasih sayang dengan kepekaan, kepenuhan, dan kesederhanaan, bukan sebatas pepatah jangan nilai buku dari sampulnya, novel Hujan Bulan Juni adalah kasus ideal yang menggambarkan himbauan jangan nilai buku dari judulnya. Adalah kekecewaan besar bahwa sebagian pembaca mengartikan judulnya mentah-mentah dan berujung menyimpulkan buku ini melenceng dari ekspektasi karena tidak ada hujan dan bulan Juni. Agaknya tidak semua pembaca berhasil menangkap benang merah kuat antara novel yang berjudul serupa dengan puisinya yang termashyur. Apa pun pendapat dan penafsiran yang muncul, pada akhirnya sastra adalah perkara yang sangat subjektif, baik pengarang dan kata, buku yang pernah meraih nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa untuk Kategori Prosa ini memang cukup berbeda dari novel pada umumnya. Menghibur dan santai di satu sisi, namun juga menggelitik rasa ingin tahu dan kaya esensi di lain pihak. Puisi yang menjelma menjadi lagu kemudian komik lalu novel dan nantinya film layar itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, kata Pingkan kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan tangan dari balik klise yang bersikeras untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi. Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam sambil menambahkan, Jakarta itu kasih sayang. Hujan Bulan Juni, Hal. 125 JudulBuku: Hujan Bulan Juni. Penulis: Sapardi Djoko Darmono. Penerbit Utama: Gramedia Pustaka Utama. Tahun Terbit: 2015. Deskripsi Fisik (Tebal): 138 halaman. ISBN: -1. Penulis Resensi: Puguh Prianggoro SPd (Penulis adalah Guru Pegiat Kampung Ilmu Bojonegoro). Editor: Muhammad Roqib. Publisher: Imam Nurcahyo.
HujanBulan Juni. Sapardi telah menciptakan genre baru dalam kesusastraan Indonesia, yang sampai kini belum ada nama yang sesuai untuknya. Ia seorang penyair yang orisinal dan kreatif, yang eksperimen-eksperimennya—inovasi yang sangat mengejutkan dalam segala kesederhanaannya. sumber dokumentasi mizanstore. 4. Rafilus
Bulanadalah sebuah novel karya Tere Liye, novel ini adalah bagian kedua dari seri Bumi/serial Dunia Paralel. Diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2015. Halaman ini terakhir diubah pada 3 Juni 2021, pukul 03.12. Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; Takhanya itu, kejadian-kejadian yang unik, lucu, menyenangkan atau menyedihkan pun bisa terjadi. Hal inilah yang melatarbelakangi Titi Sari Anggri Kiswari, yang akrab disapa Titish, melukiskan semuanya dalam karya fiksi novel berjudul A Little White Lie (Sebuah Kebohongan Putih Kecil). .
  • i4vy1jv690.pages.dev/362
  • i4vy1jv690.pages.dev/242
  • i4vy1jv690.pages.dev/293
  • i4vy1jv690.pages.dev/393
  • i4vy1jv690.pages.dev/21
  • i4vy1jv690.pages.dev/193
  • i4vy1jv690.pages.dev/387
  • i4vy1jv690.pages.dev/397
  • i4vy1jv690.pages.dev/185
  • resensi novel hujan bulan juni